Menakar ke-Pancasila-an Indonesia
Oleh
: IMMawan Mizan Malik S.
Ketua
Umum PK IMM Ahmad Dahlan UMS 2015
“..., bangsa atau rakyat adalah
satu jiwa. Jangan kita kira seperti kursi-kursi yang disejajarkan. Nah, oleh
karena bangsa atau rakyat adalah satu jiwa, maka kita pada waktu kita
memikirkan dasar statis atau dasar dinamis bagi bangsa tidak boleh mencari
hal-hal di luar jiwa rakyat itu sendiri. Kalau kita mencari hal-hal di luar
jiwa rakyat sendiri, KANDAS. ...” ( Ir. Soekarno )
Itulah
secuil pidato yang mengawali tercetusnya Pancasila sebagai dasar negara oleh
Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI. Uraian sederhana namun bermakna, bahkan hingga
mendekati kenyataan pada masa-masa sesudahnya. Perdebatan sengit, adu argument
bahkan perang urat saraf diantara perumus pun tak dapat dielakkan.
Jalan berliku-liku pun ditempuh hanya untuk satu dasar negara yang hakiki.
Hasilnya adalah Pancasila seperti yang sudah kita kenal seperti sekarang ini.
Sebuah dasar negara ataupun falsafah negara yang menjadi pedoman hidup bagi
bangsa Indonesia.
Lahir
dengan pergulatan pemikiran yang hebat dengan didasari kepribadian bangsa
sendiri bukan berarti dalam perjalanannya mulus setelah dilahirkan, nyatanya
pada masa Orde Lama maupun Orde Baru sekalipun telah terjadi
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan dalam tubuh Pancasila itu sendiri.
Hasil dari berbagai penyimpangan itu sudah seperti yang diutarakan dalam
cuplikan pidato Bung Karno di atas, yaitu : KANDAS. Tidak ada satu pun
penyimpangan waktu itu, yang berhasil merubah Pancasila dari hakekatnya.
Seolah-olah Pancasila memiliki cara tersendiri untuk mengembalikan posisinya
sebagai ideologi bangsa yang sebenarnya.
Lalu
bagaimana dengan keadaan Pancasila sekarang ini? Sebuah pertanyaan yang memang
patut dipertanyakan namun juga sebuah hal yang sangat menggelitik ketika kita
tahu jawabannya. Bagaimana tidak, pancasila yang sekarang kita kenal masih sama
dengan pancasila yang kita kenal dulu dengan ke-lima silanya, akan tetapi itu
hanyalah pandangan normatif saja bukan pandangan aplikatifnya. Seakan-akan
pancasila menjadi paradigma yang statis bukan dinamis seperti yang diharapkan.
Pancasila pada masa sekarang ini telah banyak mengalami tindakan penyalahgunaan
untuk kepentingan kekuasaan semata, bukan lagi eksistensi Pancasila itu sendiri
sebagai warisan falsafah hidup dan cermin cita-cita bersama seluruh masyarakat
bangsa Indonesia tentang hidup bernegara dan berbangsa yang kita idealkan
bersama sejak dahulu.
Pancasila
dengan ke-lima silanya kini telah menjadi slogan semata. Substansi dan
cita-cita yang ingin dibangunnya di kemudian hari hanyalah wacana yang tak
kunjung terealisasi, tentunya realisasi tersebut diaplikasikan oleh
pemerintahan yang ada dengan program-programnya, akan tetapi semua itu hanyalah
kemunafikan belaka. Seperti yang kita tahu, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan
oleh pemerintah malah justru mempreteli satu per satu substansi dari tiap sila
dalam Pancasila. Penyimpangan beragama, pelanggaran HAM terhadap warga sipil,
kerusuhan di berbagai daerah, kesenjangan ekonomi dan lain-lain adalah segelintir
kasus yang menggambarkan bagaimana sekarang Pancasila bukanlah menjadi alat
pemersatu bangsa yang memadai. Hal ini juga diperparah oleh keadaan masyarakat
Indonesia yang sudah mulai luntur akan kepribadian bangsa yang sebenarnya.
Meski
bukan sepenuhnya salah pemerintah, namun pemerintah sebagai pemegang kekuasaan
pun memiliki peran penting dalam menumbuhkan jiwa ber-Pancasila kepada setiap
masyarakatnya. Akan tetapi sekali lagi
pemerintah justru memberikan contoh seolah-olah negara kita adalah Indonesia
tanpa Pancasila. Hal ini dapat dibuktikan dengan elit-elit pemerintahan yang
berebut kekuasaan baik ditingkat pusat maupun daerah dengan berbagai cara, yang
terbaru, kenaikan harga BBM yang sekiranya waktunya tidaklah tepat namun
dipaksakan sehingga mengakibatkan kekacauan ekonomi di tingkat masyarakat
kalangan menengah ke bawah. Inilah yang membuat kita miris bahkan menyadari
bahwa Pancasila sedikit demi sedikit terlubangi oleh kepentingan semata
sedangkan kita hanya diam tak berdaya dengan semua hal itu.
Hal-hal
seperti itulah yang justru pada akhirnya menimbulkan perbedaan sikap dan
persepsi terhadap kedudukan pancasila. Bahkan menurut Kwik Kian Gie, ada tiga
kelompok bangsa mengenai perbedaan tersebut : pertama, kelompok pembela pancasila mati-matian. Mereka meyakini
bahwa pancasila memang ampuh dalam mempersatukan bangsa Indonesia, karena betapapun
terpuruknya bangsa kita dewasa ini dalam hampir semua aspek kehidupan, NKRI
masih ada. Namun, pemahaman yan mendalam tidak dimiliki oleh mereka sehingga
kesetiaannya pada Pancasila kurang lebih juga mengandung dogma. Kedua, ialah kelompok yang menganggap Pancasila
sebagai slogan kosong, yang tidak bermakna, dan terutama dalam zaman
globalisasi yang modern ini, Pancasila tidak mempunyai relevansi sama sekali. Ketiga, kelompok yang meyakini bahwa Pancasila
bukan sekedar slogan, bukan sekedar dogma, bukan sekedar motto ataupun simbol.
Bukankah Bung Karno sendiri menyatakan bahwa Pancasila bukan ciptaan atu
karangannya, melainkan nilai-nilai yang digalinya dari peradaban dan kebudayaan
bangsa Indonesia sepanjang masa?
Nah,
tinggal kita sendirilah yang mampu menilai untuk menjadi kelompok bangsa yang
seperti apa dalam memahami kedudukan Pancasila itu tadi. Ber-Pancasila atau
tidak bukan sesuatu yang dapat ditakar dengan kalkulasi, karena hal itu tidak
didapatkan dengan cara itu. Ber-Pancasila adalah ketika kita mampu hidup dengan
kepribadian bangsa sendiri yang diaplikasikan dengan sebenar-benarnya. Mulailah
dari diri sendiri karena ber-Pancasila adalah tanggungjawab bersama. Bukan
karena kepentingan, bukan karena keterpaksaan apalagi dogma ataupun yang
lainnya, yang jelas Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia yang mampu
mengaktualisasi dirinya sendiri dan sangat relevan terhadap perkembangan zaman
yang ada. Banggalah dengan Indonesia yang ber-Pancasila!!!
* Penulis adalah
kader IMM Komisariat Fakultas Hukum UMS
0 Komentar untuk "Menakar ke-Pancasila-an Indonesia"